Secara bahasa, kurban berasal dari akar kata qoruba yaqrobu qurbaanan yang memiliki makna dekat dan mendekatkan diri. Dekat dalam hal ini memiliki 2 (dua) cakupan utama; mendekatkan diri kepada Allah SWT dan kepada sesama manusia. Dekat dengan Allah berarti senantiasa berusaha melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Orang yang dekat dengan Allah akan selalu istiqamah dan optimistis dalam menghadapi kehidupan dan menatap masa depan. Sementara kedekatan dengan sesama manusia bermakna selalu berusaha menghadirkan kebaikan dan kemanfaatan. Mencintai anak yatim, menolong orang fakir dan menyantuni si miskin adalah ekpresi taqarruban.
Spirit Taqarruban Ibrahim kepada Allah dan kepada manusia inilah yang tampak secara nyata pada sosok pribadi Nabi Ibrahim AS. Oleh sebab inilah, Ibrahim mendapat gelar sebagai Khalilullah dan Khalilur Rahman (kekasih Allah, Zat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang), sebagaimana Allah memberikan predikat ini kepada Baginda Ibrahim melalui yang disebutkan dalam firman Allah; Surah An-Nisa ayat 125 :
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kekasih(-Nya). (QS An-Nisa 4:125).
Spirit inilah yang harus kita hayati dan internalisasi kedalam hati kita semua, terlebih di saat kita berusaha untuk mendekat dan menghadirkan kebahagian di tengah masyarakat melalui sembelihan dan daging yang kita distribusikan kepada sesama.
Dalam kerangka taqarruban ini pula, kita disunnahkan untuk menyaksikan penyembelihan hewan kurban yang kita laksanakan. Bahkan syariat menghendaki agar kita dapat menyembelih hewan kurban kita dengan tangan kita sendiri. Menurut para ulama, hukum hadir menyaksikan penyembelihan hewan kurban ini adalah sunnah, dan telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Selain itu, anjuran hadir menyaksikan penyembelihan hewan kurban ini dimaksudkan untuk menyembelih ego dan hawa nafsu kita, sebagaimana kita menyembelih hewan-hewan kurban kita seraya mengharap ampunan dari setiap tetesan darah hewan kurban yang sedang kita disaksikan. Terkait dengan hal ini, Imam Al-Hakim dan Al-Bazzar meriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Ya Fatimah, datanglah ke (tempat penyembelihan) hewan kurbanmu dan saksikanlah (saat penyembelihannya), sesungguhnya bagimu dari awal tetes darah hewan kurbanmu berupa ampunan dosa yang telah lalu. Lalu Fatimah bertanya: ‘Ya Rasulullah, apakah ini khusus untuk kelurga kita atau untuk kita dan keseluruhan umat Muslim?' Kemudian Nabi Saw menjawab: ‘Tidak, bahkan ini berlaku untuk kita dan keseluruhan umat Muslim. Lalu beliau diam'.
Oleh karena itu, baik yang berkurban ataupun yang tidak untuk bersama-sama menyaksikan penyembelihan hewan kurban. Khatib menyeru agar kita mengajak anggota keluarga kita, bersukacita menyaksikan syiar dan syariat ini.
Dalam konteks kehidupan berumah tangga, ibadah kurban ini memberikan sejuta hikmah, khususnya tentang gambaran keluarga harmonis yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan keluarganya. Hal ini kaena dibalik pelaksanaan kurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, sesungguhnya terdapat keteladanan rumah tangga Rabbani. Allah SWT begitu banyak memberikan contoh dan suri tauladan bagi kita melalui diri seorang Ibrahim. Bahkan di dalam Al-Qur’an, nama Ibrahim disebut sebanyak 69x yang tersebar ke dalam 24 surat. Nama Ibrahim juga diabadikan menjadi sebuah surat di dalam Al-Quran, yakni Surah ke 14. Selain itu, hanya nama Ibrahim pun yang selalu kita sebut dalam sholat selain nama Muhammad SAW.
Oleh karena itu, mari gunakan kesempatan yang baik ini untuk melakukan refleksi atas hikmah kurban ini. Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nahl ayat 120:
Sungguh, Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat dijadikan teladan), patuh kepada Allah dan hanif. Dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (yang mempersekutukan Allah), dia mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Allah telah memilihnya dan menunjukinya ke jalan yang lurus.Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia, dan sesungguhnya di akhirat dia termasuk orang yang shalih. (QS An-Nahl 16:120)
Dalam ayat di atas, Nabi Ibrahim disebut memiliki beragam karakter, antara lain: teladan yang baik, taat pada Allah dan lurus dalam menjalani kehidupan. Bahkan Allah menyebut Ibrahim sebagai seseorang yang lurus tauhidnya, senantiasa bersyukur dan memiliki sifat-sifat kesalihan. Secara lebih terperinci, kita dapat jelaskan sosok Nabi Ibrahim kedalam episode kehidupan berikut ini:
Meski terlahir dan membesar di rumah pembuat patung berhala, namun ia menjelma menjadi remaja ahli tauhid dan kemudian berhasil membangun rumah tangga kenabian. Ibrahim muda memberikan pelajaran bagi kita akan urgensinya memurnikan ke-Esa-an Allah SWT secara terus menerus. Kesadaran akan pentingnya Tauhid kepada Allah ini bahkan sudah ada sejak Ibrahim masih belia. Momen ini diabadikan melalui dialog Baginda Ibrahim dengan ayahnya dalam QS Al-Anbiya berikut ini:
((Ingatlah), ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?” Mereka menjawab, “Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya.” Dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya kamu dan nenek moyang kamu berada dalam kesesatan yang nyata. (QS Al Anbiya 21:51-54)
Ketinggian derajat keimanan Nabi Ibrahim AS juga tampak ketika beliau di dalam kondisi terhimpit berada di dalam kobaran api saat ketika ingin dibakar hidup-hidup oleh Raja Namrud. Diriwayatkan ketika Nabi Ibrahim AS berada di atas tungku api, Malaikat Jibril datang, dan menawarkan bantuan. Jibril pun berkata, “Wahai Ibrahim, apakah engkau perlu bantuan?” Lalu Ibrahim AS memberi jawaban, “Kalau kepadamu, aku tidak butuh bantuan apapun”. Di saat genting tersebut, Nabi Ibrahim AS mengucapkan doa yang tertulis dalam Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 173, yang berbunyi:
حَسْبُنَا ٱللَّهُ وَنِعْمَ ٱلْوَكِيلُ
Artinya: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”
Pelajaran dan hikmah berikutnya yang dapat dipetik dari Baginda Ibrahim ialah keteladanan beliau sebagai suami. Dalam keluarganya, Nabi Ibrahim adalah kepala keluarga yang memiliki visi yang hebat. Ia membina keluarganya sesuai dengan tuntunan Allah. Sebagai suami, Ibrahim berlaku adil kepada istrinya. Ketaatan istri Nabi Ibrahim kepadanya tentu tidak terlepas dari kemuliaan pribadi dan ketaatan Nabi Ibrahim AS kepada Allah SWT. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa jika ingin ditaati oleh istri, seorang suami harus mampu menampilkan dirinya sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab, berkepribadian luhur, cinta pada keluarga, dan berperilaku sesuai dengan tuntunan agama.
Akan sulit bagi seorang suami yang menginginkan istrinya taat dan shalehah, sementara suami sendiri memiliki akhlak yang buruk. Akan sia-sia jika suami lebih menginginkan istrinya berubah ke arah yang lebih baik, sementara pribadi sang suami tersebut tidak pula mampu mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang ia lakukan. Sejatinya, ubahlah diri sendiri, maka Allah akan mempermudah jalannya untuk mengubah orang-orang yang dipimpinnya, termasuk istri dan anak-anaknya.
Keteladanan nabi Ibrahim dalam berumah tangga dengan istri-istrinya ini tentu merupakan hasil yang baik dalam memurnikan Ketauhidan kepada Allah. Poin kesabaran dan kelembutan hati Ibrahim dalam berumah tangga tercermin dari bagaimana ia memperlakukan ayahnya meskipun memiliki kepercayaan yang berbeda. Di dalam beberapa ayat, Ibrahim juga tetap mendoa’kan dan berlemah lembut kepada sang Ayah.
… dan ampunilah ayahku, sesungguhnya dia termasuk orang yang sesat. (QS Asy-Syu’ara 26:86)
Doa Nabi Ibrahim kepada Ayahnya juga terekam dalam ayat lain.
Dia (Ibrahim) berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. (QS Maryam 19:48)
Episode ini mengajarkan kepada kita, dalam kondisi apapun, sikap santun kepada orang tua tetap harus dijaga. Al-Quran mengajarkan kepada kita untuk selalu bersikap lemah lembut kepada dan merendahkan hati kita di hadapan orang tua kita dengan menggunakan kata yang mulia (qaulan kariman). Kita dilarang membentak dan meremehkan mereka. Ini adalah pelajaran penting ketika semakin banyak anak muda melupakan akhlak bagaimana bersikap dengan orang tua maupun kepada pasangan hidupnya sendiri. Cara kita memperlakukan orang tua akan menjadi cermin dan teladan bagi anak-anak kita. Dengan demikian, kita akan diperlakukan oleh anak-anak kita tergantung dengan cara kita memperlakukan kedua orang tua kita. JIka kita berbakti kepada kedua orang tua kita, anak-anak kitapun akan berbakti kepada kita. Pun demikian sebaliknya, jika kita kasar dan durhaka kepada orang tua, kitapun akan mendapat perlakukan serupa dari anak-anak kita.
Kemampuan Beliau membangun visi berumah tangga sesuai dengan arahan Allah, terlihat dari lahirnya anak-anak dari Rahim rumah tangganya para nabi setelahnya. Dari Siti Sarah terlahir Ishaq, dari Ishaq terlahir Ya’qub. Keduanya diangkat dari utusan Allah. Bahkan lebih dari itu, anak keturunan Ya’qub adalah nabi-nabi yang diutus di kalangan Bani Israil. Adapun dari jalur Siti Hajar, terlahir Ismail. Seorang ramaja yang menjadi prototip remaja shalih dan kemudian menjadi tonggak peradaban syariah kurban. Sebagai ayah, Nabi Ibrahim sangat menghargai anaknya, Nabi Ismail. Dialog Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menggambarkan itu semua. Meski Nabi Ibrahim diperintah oleh Allah untuk menyembelih Ismail, namun tidak serta merta ia menyembelih Ismail. Nabi Ibrahim bahkan bertanya kepada Nabi Ismail tentang pendapatnya, sebagaimana diceritakan pada QS Ash- Shaffat ayat 102:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (QS Ash- Shaffat 37: 102)
Dialog yang dikemukakan di dalam ayat ini, tampak jelas rasa sayang yang begitu besar dari Ibrahim kepada anaknya. Sifat kasih sayang itu tergambar dari pilihan kata yang digunakannya ketika menyeru buah hatinya: ya bunayya (hai anakku) tatkala Ibrahim meminta pendapat kepada anaknya. Hal ini menampakkan jiwa demokratis seorang ayah yang sebelumnya telah berupaya menanamkan nilai-nilai pendidikan yang baik kepada Ismail.
Lantas, timbul pertanyaan baru dalam benak kita, mengapa Ismail begitu yakin menjawab perintah di dalam mimpi Ayahnya sekalipun itu mengorbankan nyawanya? Upaya apa yang telah dibuat nabi Ibrahim sehingga memiliki anak yang memiliki ketaatan luar biasa ini? Jawabannya tentu yang pertama semua itu tidak terlepas dari doa, usaha, dan keteladanan yang dilakukan oleh Nabi Ibarahim. Al Quran mengabadikan doa Nabi Ibrahim
“Rabbi habli minashshalihin, Wahai Tuhanku, anugerahkan kepadaku anak yang shaleh (Qs. ash-Shaffat/37: 100)”
Hal ini mengajarkan kepada kita agar senantiasa berdoa untuk memperoleh anak yang shaleh. Karena itu, berdoa dan berlindunglah kepada Allah agar kita diberi kekuatan dan kemampuan untuk mendidik anak yang shaleh sehingga ia tidak menjadi fitnah yang merugikan. Selain doa, juga diiringi dengan usaha. Usaha itu bisa berupa upaya yang ditempuh Nabi Ibrahim dalam memilih jodoh. Siti Hajar, meskipun ia berkulit hitam, berstatus budak, tetapi ia memiliki keteguhan iman yang begitu luar biasa, akhlaknya begitu mulia, taat beragama dan patuh pada suaminya.
Terakhir, Nabi Ibrahim juga memberikan teladan yang baik bagi anaknya dengan perbuatan dan bukan dengan hanya untaian nasihat semata. Ibrahim membawa Ismail untuk membangun Ka’bah lalu berdiam di sekitarnya sebagaimana termaktub dalam (Qs. Al-Baqarah, 2:127). Nabi Ibrahim memberi contoh secara langsung bagaimana cara beribadah kepada Allah, bukan sekedar nasihat. Upaya ini sejatinya kita teladani dengan konsisten menjadi contoh yang baik kepada anak keturunan kita; bukan sekedar menceritakan contoh kebaikan saja.
Poin terakhir yang saya ingin sampaikan adalah tentang perhatian Nabi Ibrahim dengan masa depan anak keturunannya, baik dari aspek keimanan maupun kesejahteraan. Terdapat satu ayat yang mengutip keindahan Doa Nabi Ibrahim akan hal tersebut yang dapat kita tadabburi. Doa ini terdapat di dalam surat Ibrahim ayat 37:
“Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS Ibrahim, 14:37)
Maka kesimpulannya:
(Oleh: Dr. KH. Muhammad Choirin, Lc., MA)